Joko (bukan nama sebenarnya) baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke 55 dan pensiun dari perusahaan tempat dia mengabdikan dirinya selama 30 tahun. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK-13), ia berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali uang pesangon ditambah 1 kali uang penghargaan masa kerja ditambah uang penggantian hak. Dengan masa kerja 30 tahun dan upah sebulan sesaat sebelum pensiun sebesar Rp 3,5 juta, ia berhak atas 32,2 x Rp 3,5 juta = Rp 112,7 juta. Setelah dipotong pajak sebesar Rp 4,405 juta, ia menerima Rp 108,295 juta.
Lain lagi dengan Herman (juga bukan nama sebenarnya), rekan kerja Joko pada perusahaan yang sama. Ia pensiun bulan sebelumnya setelah bekerja 30 tahun. Upahnya sebulan sesaat sebelum pensiun sebesar Rp 15 juta. Uang pesangon yang ia terima waktu itu dengan menggunakan rumusan UUK-13 yang sama adalah sebesar Rp 483 juta (sebelum pajak), atau Rp 423,05 juta (setelah pajak).
Mungkin Joko bertanya dalam hatinya, mengapa nilai nominal yang ia peroleh sekitar 4 kali lebih kecil dibandingkan Herman. Apakah kebutuhan hidup mereka setelah pensiun berbeda, sehingga Herman pantas menerima nominal yang lebih besar?
Baca selanjutnya versi
Doc /
PDF
Joko (bukan nama sebenarnya) baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke 55 dan pensiun dari perusahaan tempat dia mengabdikan dirinya selama 30 tahun. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK-13), ia berhak atas uang pesangon sebesar 2 kali uang pesangon ditambah 1 kali uang penghargaan masa kerja ditambah uang penggantian hak. Dengan masa kerja 30 tahun dan upah sebulan sesaat sebelum pensiun sebesar Rp 3,5 juta, ia berhak atas 32,2 x Rp 3,5 juta = Rp 112,7 juta. Setelah dipotong pajak sebesar Rp 4,405 juta, ia menerima Rp 108,295 juta.
Lain lagi dengan Herman (juga bukan nama sebenarnya), rekan kerja Joko pada perusahaan yang sama. Ia pensiun bulan sebelumnya setelah bekerja 30 tahun. Upahnya sebulan sesaat sebelum pensiun sebesar Rp 15 juta. Uang pesangon yang ia terima waktu itu dengan menggunakan rumusan UUK-13 yang sama adalah sebesar Rp 483 juta (sebelum pajak), atau Rp 423,05 juta (setelah pajak).
Mungkin Joko bertanya dalam hatinya, mengapa nilai nominal yang ia peroleh sekitar 4 kali lebih kecil dibandingkan Herman. Apakah kebutuhan hidup mereka setelah pensiun berbeda, sehingga Herman pantas menerima nominal yang lebih besar?